Rolling Stone biasanya menjadi majalah paling pertama yang kubaca, ketika berkunjung ke Perpustakaan Bung Karno.
Bermula pada awal tahun 2008, ritual saban Jumat itu dimulai, sekolah pulang jam 10.45, aku gunakan waktu untuk bersantai di kantin, lalu Shalat Jumat di Masjid AT Taqwa, Jl. Cokroaminoto.
Setelahnya, menuju Perpustakaan Bung Karno, ruangan dekat pintu masuk dulunya adalah rak koran, majalah, tabloid, zine.
Ada Tempo, Gatra, Trubus, Hai, Nova, Jayabaya, Penyebar Semangat dll. Ada pula Horison, namun kala itu jarang kubaca karena ada Horison di Perpustakaan sekolah. Kukira isinya sama.
Rolling Stone adalah majalah favoritku karena mengulas musik dan musisi, dengan pendekatan jurnalistik yang tajam, mengalir.
Dalam hati timbul keinginan untuk suatu saat nanti melamar kerja di sana, menjadi wartawan musik, bertemu musisi, wawancara dan menghabiskan waktu mempelajari segala hal tentang dunia musik.
Keikutsertaanku di ekstrakurikuler Jurnalistik menunjang semangat itu, apalagi ketika memenangkan voting menjadi ketua. Harapan semakin dekat.
Namun jalur akademikku justru berbelok ke pendidikan, menjadi guru PNS lebih realistis dan terlihat lebih mudah dijangkau.
Hidupku beralih belajar tentang psikologi pendidikan, strategi belajar mengajar, PTK, silabus, RPP dan semacamnya.
Musik hanya sekadar pengiring, main band hanya mengisi waktu luang di sela penat perkuliahan, tak lebih.
***
Kembali ke Perpustakaan. Periode tahun 2008-2009 adalah fase "jatuh cinta" pada membaca dan Perpustakaan. Tempatnya bersih, nyaman dan tenang.
Perpus Bung Karno adalah bangunan megah yang boleh dimasuki siapun, merasakan dinginnya AC tanpa perlu menjadi pejabat daerah.
Tahun-tahun ketika di Kota Blitar belum menjamur kafe dan tempat nongkrong, tak banyak opsi untuk menghabiskan waktu sore hari.
Gedung Dwipayana masih ada, meski beralih menjadi swalayan. Mal Blitar juga belum dibangun.
Minimarket waralaba belum ada, infonya memang tidak diijinkan walikota, takut menggeser toko-toko kecil.
Lagipula, apa yang bisa dilakukan anak SMA yang uang sakunya hanya Rp5000 sehari?
Tahun itu, Perpustakaan Bung Karno sudah dua lantai, lantai dua seberang adalah ruang koleksi khusus, yang tak pernah kusapa.
Favoritku adalah pada rak buku Psikologi dan Filsafat, yang berdekatan. Atau rak sejarah dan tokoh. Berdekatan juga dengan rak buku-buku Sastra, meski lebih banyak terjemahan. Sekarang tentu penataan letaknya sudah berbeda.
Adakah tempat yang lebih menarik dari Perpustakaan saat itu?
***
Tahun ini, Perpustakaan Bung Karno berusia 21 tahun. Bangunannya semakin megah, fasilitasnya bertambah, program-programnya kian meriah.
Jika dibandingkan dulu, Perpus Bung Karno sekarang lebih ramai, setidaknya lewat pengamatan sekilas, lalu lintas pengunjung.
Dulu sepi, apalagi pada jam-jam kerja. Agak ramai saat hari Ahad, meski tetap ada kursi kosong.
Itulah enaknya di Perpustakaan, duduk menyendiri bukan suatu keanehan, dan itu sering terjadi padaku saat remaja.
Ada rasa syukur karena di kota kecil dan sepi seperti Blitar (dulu) ada Perpustakaan super bagus dan koleksi bukunya bejibun.
Sesekali aku berdoa pada Tuhan agar mereka, entah pejabat, pencetus, arsitek yang mengawal dan menangani berdirinya Perpustakaan tersebut, diberi pahala yang setimpal.
Itulah amal politik, ketika suatu kebijakan politik memberi manfaat dan Insyaallah ladang pahala meski pejabat tersebut telah pensiun.
***
Tempat penawar sepi terbaik ya Perpustakaan, lewat buku-buku dan membaca, kita menemukan keriuhan dalam pikiran.
Itulah sebabnya seorang pembaca buku, meski terlihat sendiri, tidak pernah merasa kesepian. []
Tabik,
Ahmad Fahrizal Aziz
INFO
Pada 1 Januari 2018, Rolling Stone Indonesia resmi berhenti terbit karena lisensi dari PT a&e Media sebagai penerbit tidak diperpanjang. Penutupan ini terjadi di tengah perubahan besar industri media cetak dan pergeseran ke media digital, serta menurunnya pendapatan iklan yang menjadi tantangan utama bagi kelangsungan majalah musik di Indonesia.