Dibandingkan Muhammadiyah, Muktamar NU yang akan digelar di Jombang nanti akan menjadi satu moment penting dan cukup krusial. Saat ini, terutama selepas orde baru berkuasa dan selepas Gus Dur menjadi Presiden, NU tengah mengalami transformasi yang sangat besar.
Jika selama ini NU lebih dikenal sebagai gerakan kultural-tradisional, kini NU mulai merambah wilayah-wilayah institusional-struktural. Anak-anak muda NU mulai sadar akan pentingnya gerakan intelektual dan politik, serta merambah basis-basis kosmopolit yang selama ini menjadi wilayah dakwah Muhammadiyah.
Dalam sebuah perbincangan dengan Prof. Imam Suprayogo tiga tahun silam, beliau mengatakan jika NU mulai sadar bahwa berdakwah itu tidak cukup hanya mengandalkan Kyai yang basisnya di pesantren, tapi juga butuh Doktor dan Profesor. Menurutnya, salah satu transformasi terbesar NU adalah mulai banyaknya anak-anak muda yang sadar pentingnya Pendidikan.
Dibandingkan Muhammadiyah, NU memang jauh tertinggal. Muhammadiyah, sejak era 40-an, sudah mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Tajdid dan Organisasi Modern. Kesadaran itu berimbas pada berdirinya banyak institusi, baik sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dll. Sejalan dengan itu, Muhammadiyah memiliki banyak Doktor dan Profesor yang kompeten dibidangnya.
Puncaknya, menurut Dr. Haedar Nashir, adalah ketika Prof. Amien Rais menjadi ketua Umum tahun 1995, dimana migrasi intelektual itu berlangsung cukup masif. Banyak Profesor dan Doktor menjadi pengurus Muhammadiyah. Maka tak heran jika tokoh Muhammadiyah sering disebut “Kyai Berdasi”. Hubungan Muhammadiyah dengan Pemerintah pun dijaga dengan sangat baik oleh ketua Umum sebelumnya, yaitu AR Fachrudin dan KH. Azhar Baasyir. Bahkan, Muhammadiyah kerap mendapatkan amanah untuk dua atau tiga pos menteri : Menteri Agama, Pendidikan, dan Kesehatan.
Kesadaran Muhammadiyah akan Gerakan Struktural-Institusional jauh lebih dahulu muncul. Adanya tokoh-tokoh di dalam struktural, membuat akses Muhammadiyah untuk membangun lembaga pun bisa berjalan dengan mudah.
Saat ini, NU tengah berada pada posisi yang sama dengan Muhammadiyah terdahulu. Semangat untuk mendirikan lembaga, terutama Perguruan tinggi mulai masif. Upaya untuk mengisi pos-pos struktural di Pemerintahan juga digalakkan. Saat ini, ada beberapa kader NU yang menjadi menteri, seperti Khofifah Indar Parawangsa, Hanif Dhakiri, Imam Nachrowi, Lukman Hakim, dan beberapa di pos non-kementrian.
Dengan kekuatan politik yang ada, terutama di Kementrian Agama, NU bisa lebih gesit menjalankan program-program revolusionernya.
Dalam Muktamar yang akan datang, salah satu isu yang akan dibahas adalah mengembalikan PMII sebagai Ortom NU. PMII, sempat lepas dan menjadi Indepen karena kader-kader mudanya merasa kultur NU tidak sejalan dengan semangat anak muda kala itu. Kultur taqlid yang seharusnya dihindari oleh kaum intelektual seperti Mahasiswa, masih menancap kuat.
Sekarang ini, peluang PMII untuk kembali menjadi Ortom NU cukup terbuka mengingat mulai banyak sekali kader-kader ‘terdidik’ yang menjadi pengurus NU. Bahkan, Ulil Abshar Abdalla yang pemikirannya dianggap ‘njeleneh’ itu pun bisa mendapatkan ruang di NU. Terpilihnya Profesor menjadi ketua Umum PBNU itu juga menjadi argumentasi tambahan bahwa konstituen NU, selain mempertimbangkan ketokohan kharismatik, juga mulai mempertimbangkan aspek intelektual.
Jika memang PMII nantinya kembali menjadi Ortom NU, maka ini akan menandai satu perubahan yang cukup masif. Itu berarti, NU sudah nyaman dengan kultur intelektual dan politik. Tapi sistem pemilihan ketua Umum yang dilakukan NU membuat segalanya bisa berubah. NU tidak menganut sistem formatur seperti Muhammadiyah. NU mengandalkan basis massa. Dan disinilah pertaruhan besar itu dimulai. Apakah NU akan semakin maju dan progresif sebagaimana Muhammadiyah, atau justru NU akan kembali seperti dulu lagi sebagai organisasi tradisional. Atau malah, tidak dua-duanya.
Karena dengan sistem yang ada, peta pertandingan tidak hanya dua kubu yang berbeda, tapi bisa tiga kubu. Kubu ketiga mungkin saja tidak terbaca, tapi kemungkinan menang itu ada. Inilah resiko kalau menggunakan sistem one man one vote.
Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. (*)
Blitar, 7 Syawal 1436 H
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
Muktamar NU