Romantika Bulan Ramadan (2)
Dompet mahasiswa memang sangat rawan terkuras. Selain untuk biaya makan, juga untuk mengerjakan tugas serta berbagai kegiatan. Ditambah, kalau punya gaya hidup glamor. Hal-hal semacam itu tidak menjadi problem jikalau memang ditopang oleh ekonomi keluarga yang memadahi. Sebagian, memanfaatkan beasiswa dan kerja part time.
Biaya makan, tempat tinggal, tugas kuliah dan kegiatan yang menyertainya memang tidak bisa ditunda. Standart makan mahasiswa itu 2 kali sehari. Tugas kuliah, yang paling sering adalah membuat makalah, print out, burn up CD dll. Kegiatan, diantaranya observasi, seminar, diklat dsj. Belum biaya kost, asrama, atau kontrakan. Itu kadang belum termasuk biaya listrik dan air. Apalagi kalau anak kontrakan. Belum lagi kalau naik kendaraan, ada tambahan biaya bensin, dsj.
Berbeda ketika masih sekolah, masih tinggal dengan orang tua, dimana semua biaya itu di cover dari rumah. Menjadi mahasiswa, harus pandai-pandai mengatur, apalagi yang dompetnya tipis. Namun bulan puasa memberikan kesan lain, ada yang sering dikenal dengan istilah PPT (Para Pemburu Takjil).
Di beberapa Masjid, selain takjil, juga disediakan makanan berbuka puasa. Bisa dalam bentuk nasi kotak, bungkus, atau sajian on the spot. Menunya pun biasanya lumayan menggugah selera, mungkin karena sedang lapar. Pernah menunya soto ayam, sate ayam, nasi ayam, dan semua yang serba ayam. Di bulan puasa memang banyak donatur yang baik hati, yang beramal diatas rata-rata dari hari biasa.
Sajian berbuka puasa itu tidak saja menjadi ladang amal bagi si donaturnya, tapi juga menjaga eksistensi dompet yang menerimanya, terutama mahasiswa. Lumayan. Tidak perlu keluar uang untuk membeli makanan berbuka, yang paling tidak habis 10rb beserta minumannya. Sekarang mungkin bisa lebih.
Memang kerap ada kritik tajam, bahwa bulan puasa, meski pagi dan siangnya tidak makan, tapi tingkat konsumerisme masyarakat justru menjadi-jadi, terutama jelang lebaran. Harga-harga melambung tinggi. Di rumah saja, menu berbuka jadi ekstra dibandingkan hari biasa. Harus ada kolak, buah, dan tambahan lainnya. Buka puasa di Masjid, tentu saja menjadi cara lain untuk menekan tingkat konsumsi berlebih itu.
Dan kalau bagi saya pribadi, kopi atau teh memang selalu menjadi andalan. Mungkin karena kebiasaan (habit), terutama jelang sahur. Jam 2 pagi masih ngopi. Kalau di rumah, ngopi sambil baca buku atau nonton Tafsir Al Misbah. Kalau di Malang, ngopi sambil atri beli makanan. Jam setengah empat baru makan sahur.
Kalau pas berbuka tidak sempat ngopi, biasanya ngopi malam hari setelah tarawih. Ada banyak sekali warung kopi dengan harga terjangkau, apalagi yang di trotoar-trotoar. Di warung kopi itu, memang biasanya berbincang ngalur ngidul, tapi topiknya selalu yang berat-berat, khas Mahasiswa. Topik tentang Politik, Hukum, Sosial, dan tentu saja agama.
Mungkin itu juga sejenis tadarus (tadrusu), meski tidak formal seperti di Masjid dan Mushola yang terjadwal setiap pagi dan sore. Dan tadarusnya bukan ayat-ayat kauliyah, namun ayat-ayat Kauniyah, lebih tepatnya ayat kauniyah yang meliputi tarikiyah (peristiwa-peristiwa sejarah) atau hal-hal nafsiah (sesuatu yang ada dalam diri manusia).
Ngopi, yang bisa juga menjadi akronim ngobrol pintar itu juga bagian penting dari romantika bulan ramadan. Bulan yang penuh berkah nan melimpah. (*)
Blitar, 2 Ramadan 1437 H
Tags:
ramadan