Talk Show bersama Dr. Abdul Muthi dan Taufan Putrev Korompot. |
Akhir tahun 2011, pasca LID (Latihan Instruktur Dasar) PC IMM Malang periode kepemimpinan Taufik Suwardi dengan Kabid kadernya Dodi Firmansyah, setidaknya seminggu sekali diadakan diskusi perkaderan bergantian tiap kampus. Kadang di UIN, UM, UB, Budi Utomo, dan tentu saja UMM. Tim instruktur inilah yang kemudian juga mengawal berdirinya IMM Universitas Kanjuruhan kala itu.
Dalam diskusi yang hangat, disertai beberapa cangkir kopi dan makanan ringan, muncul satu pembahasan serius tentang posisi IMM di kampus PTM, dalam hal ini UMM.
Kata salah satu anggota Instruktur dari Koms. Aufklarung kala itu, melihat IMM di UMM tentu harus berbeda melihat IMM di kampus non UMM. Bukan bermaksud dikotomis, tapi di UMM tidak bisa menyebut IMM sebagai OMEK, sebagaimana IMM di kampus non UMM. IMM harus dipandang sebagai Intra, atau setidaknya ortom.
Keyakinan itu juga diperkuat dengan dalil berupa surat kep. PP tentang organisasi yang berdiri di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Tertulis secara eksplisit nama IMM disitu. Maka kasus dekan fak. Farmasi UM Surakarta beberapa waktu lalu jadi cermin betapa lemahnya pemahaman terhadap hal tersebut.
Tapi terlepas dari legal standing dan macamnya, posisi IMM di PTM (atau juga di kampus non PTM) memang harus dipertimbangkan lebih serius.
Pertama, tentu karena IMM sebagai ortom Muhammadiyah yang bergerak di wilayah kampus. Sehingga, keberadaannya penting sebagai corong perkaderan.
Kedua, meski PTM punya matkul khusus bernama AIK (Al Islam dan Kemuhammadiyahan), tapi itu bukan sarana kaderisasi, melainkan hanya wawasan agar lebih mengerti tentang Muhammadiyah. Untuk sah menjadi kader, tentu harus melalui mekanisme organisasi/ortom. Disinilah point keberadaan IMM. Karena tidak mungkin semua mahasiswa yang kuliah di PTM menjadi kader Muhammadiyah. Kuliah di PTM untuk mencari ilmu, sementara menjadi kader Muhammadiyah adalah preferensi masing-masing individu.
Jadi, kehadiran IMM di PTM membantu dalam rekruitment kader Muhammadiyah melalui Darul Arqam Dasar (DAD). Untuk itu, menyamakan IMM dengan OMEK dikampus PTM tentu menyederhanakan peran IMM. Padahal, dalam sebuah organisasi, perkaderan adalah bagian penting.
OMEK lain juga melakukan kaderisasi, tapi bukan untuk Muhammadiyah. Sementara IMM, secara hirarkis-ideologis mencetak kader-kader Muhammadiyah. IMM sebagai wadah formal proliferasi kader-kader muda Muhammadiyah di kampus PTM.
Sehingga kedepan, Muhammadiyah akan memetik “buah perkaderan” tersebut. Beberapa kembali ke daerah, beberapa melanjutkan secara hirarkis sampai ke Pimpinan pusat. Seperti sekarang, kita bisa memiliki tokoh muda yang hebat seperti Dr. Abdul Muthi dan Dahnil Anzar Simanjuntak. Belum lagi yang berkhidmat di daerah-daerah, yang merupakan didikan IMM dari PTM se-Indonesia.
Mereka belajar tentang Muhammadiyah, juga belajar ber-Muhammadiyah ketika Mahasiswa. Dari sinilah, masa depan Muhammadiyah itu bermula. (*)
Blitar, 27 Agustus 2016
A Fahrizal Aziz
(Mantan Kabid RPK PC IMM Malang)
A Fahrizal Aziz
(Mantan Kabid RPK PC IMM Malang)
Tags:
IMM