Kalau kita baca The Phantom of Opera karya Gaston Leroux, kita akan mengingat sosok jenius namun buruk rupa bernama Erik. Sayang kejeniusannya justru tidak diarahkan untuk hal yang lebih produktif karena ia terlibat pada cinta segitiga. Ia sangat mencintai penyanyi opera cantik bernama Christine. Namun harapannya untuk memiliki Christine mungkin tak akan terwujud karena disaat yang sama ada lelaki tampan yang juga mendekatinya, seorang viscount bernama Raoul.
Frustasi karena kalah bersaing dengan Raoul, Erik pun menjelmakan dirinya menjadi hantu opera. Ia menyetting tempat itu seolah angker dan mengerikan, sehingga orang-orang sekitar merasa ketakutan dan terteror, termasuk Christine yang ia cintai itu.
Fenomena Erik mungkin satu dari sekian banyak orang yang merasa terjebak dalam tubuh yang tidak ia kehendaki. Bagaimana bisa dikehendaki, karena tubuh bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Entah lahir sebagai lelaki atau perempuan, itu sebuah takdir yang hanya bisa kita jalani. Termasuk bentuk wajah, ukuran tubuh, dan sejenisnya.
Jauh hari, di era munculnya Filsafat, persoalan itu sudah dibahas oleh Pythagoras. Dalam buku Sejarah Filsafat Barat yang ditulis Bernard Delfgaauw, Pythagoras menyebut jiwa sebagai substansia, sementara raga hanya media pemurnian. Raga sebagai katarsis. Jika pemurnian berhasil, maka pasca kematian, jiwa akan ditampung dalam alam kebahagiaan. Sementara, ketika pemurnian tidak berhasil atau kurang cukup, selepas mati jiwa kita akan mendiami raga lain.
Sayang tidak dijelaskan apa kriteria cukup atau tidak cukupnya dalam proses pemurnian tersebut. Namun pada era selanjutnya, terutama era Plato, raga/tubuh disebut sebagai penjara bagi jiwa. Hal ini disebutkan oleh Pythagoras diawal, bahwa raga/tubuh sebenarnya adalah hal yang asing bagi jiwa. Sebuah keterasingan. Mungkin karena itulah dalam hidup manusia terus berproses mencari jati dirinya.
Terlepas dari kita percaya atau tidak dengan uraian dua filsuf diatas, hal senada juga dijelaskan dalam filsafat jawa, bahwa tubuh adalah kerangka jiwa (rogo iku ragangane jiwo), artinya itu bersifat sementara, bahkan jika menggunakan perhitungan matematik, konon hanya sepersekian dari usia jiwa sesungguhnya. Dalam agama dijelaskan, bahwa kebangkitan setelah hari kiamat, manusia akan menempati wujud yang berbeda-beda. Ada yang kepalanya dibawah, ada yang seperti babi, dll.
Nalar intelektual Pythagoras atau Plato sebenarnya dijawab oleh Agama, dimana permurnian itu bisa berarti amal perbuatan. Tapi segala hal yang berkaitan dengan suasana pasca kematian, kita semua tidak ada yang tahu pasti. Meski Agama pun juga berbeda memberikan ajarannya. Menurut agama Buddha, setelah mati manusia akan bereinkarnasi kembali menjadi manusia yang lebih baik atau lebih buruk, atau bisa jadi bereinkarnasi menjadi hewan dan siluman jika amalnya ketika hidup sangatlah buruk.
***
Dalam diskusi dengan mereka yang menamai LGBT sekitar empat tahun silam, ada yang bercerita persis dengan istilah “terjebak dalam tubuh”. Ada lelaki yang merasa dirinya perempuan, namun terjebak dalam tubuh lelaki. Ada perempuan yang merasa dirinya lelaki, namun terjebak dalam tubuh lelaki. Yang lebih susah dipahami, ada orang yang merasa dalam dirinya ada unsur lelaki dan perempuan. Yang tak kalah membingungkan juga, ada lelaki yang merasa dirinya pure lelaki, tapi menyukai lelaki. Begitupun juga, ada perempuan yang merasa dirinya perempuan namun menyukai sesama perempuan.
Diluar dari LGBT, sebagaimana sosok Erik, merasa terjebak dalam tubuh yang tidak diinginkan. Kaum perempuan paling banyak mengalami perasaan ini. Meski Ilmu Kedokteran bedah kemudian menemukan solusinya, yaitu dengan operasi plastik. Ilmu Farmasi menjawabnya dengan menciptakan beragam produk kosmetik, serta obat-obat pemutih kulit, dlsb. Akhirnya mereka yang memiliki cukup uang, melakukan upaya tersebut.
Karena bukan anak Psikologi, saya agak dibuat pusing dengan hal-hal semacam ini. Mulailah saya membaca literatur tentang psikologi. Namun dalam kaitannya isu LGBT, ternyata praktisi psikologi pun juga berbeda pendapat. Ada yang menyebut itu sebagai penyakit, ada yang menyebut itu preferensi, ada yang menyebut itu hal yang alamiah. Terserah kita lebih percaya yang mana, karena sekali lagi, tidak ada Ilmu yang mengandung kebenaran mutlak.
Ketika teori Ilmu Pengetahuan saling berbenturan, maka sebagian orang kemudian mengembalikannya kepada Agama, spiritualitas dikuatkan. Hal ini memang tak mudah, karena tubuh adalah pusat segala rasa, terutama yang berkaitan dengan kenikmatan indrawi, serta respon sosial. Itulah kenapa kita merias diri, menggunakan pakaian yang sekiranya enak dipandang. Dalam kondisi tertentu, penampilan juga mempengaruhi rasa percaya diri.
Meski hal tersebut tidak mutlak, dan kita sadari itu semua. Pada taraf yang berbeda, ada sebagian orang yang berfikir “melampaui tubuh”, ia yakin bahwa persona tidak diciptakan oleh bentuk tubuh maupuan trend busana. Ada yang lebih bersifat abadi : intelektualitas, attitude, integritas, dan semacamnya. Orang-orang pada level ini barangkali tak terlalu menggubris, apa ia terlihat cantik atau tampan, seksi atau atletis. Baginya yang terpenting adalah persona dari dalam. Inner beauty, kalau istilah perempuan.
Tulisan ini mungkin akan dibaca sangat biasa bagi mereka yang sudah “melampaui tubuh”, namun akan dibaca dengan perasaan menggelisahkan bagi yang belum menerima tubuhnya sendiri. Bahkan, saya yang menulisnya saja, masih ada rasa kegelisahan. []
Blitar, 19 November 2016