2. Kunta dan Luka Masa Lalunya


Aku berjumpa Kunta pertama kali saat diklat jurnalistik lembaga Pers Mahasiswa atau PJTD (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar).

Saat PJTD itupula aku bertemu Layyin, yang sekarang menjadi Istriku. Ia akrab disapa Yin.

Kami bertiga didampingi oleh Kak Rosmita, biasanya kami memanggilnya Kak Met. Kak Met sekarang menjadi komisioner KPU di Kota ini.

Kunta kuliah lewat beasiswa bidik misi, karena dia anak yatim piatu. Ibunya meninggal saat ia berusia 4 tahun, sementara ayahnya meninggal saat ia berusia 12 tahun.

Kunta kemudian tinggal bersama neneknya yang sudah renta, di kelurahan Kalipang, Lodoyo. Rumah neneknya cukup luas dengan arsitektur gaya lama. Namun sang nenek meninggal saat Kunta sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.

Itulah pertama kalinya aku melihat Kunta menangis, ia tak henti terisak saat kubonceng dengan motor beatku dari kontrakan kami menuju rumah duka.

Setelah 40 hari kepergian sang nenek, keluarga Kunta pun membuat pertemuan untuk pembagian warisan. Kunta mewakili ayahnya hanya mendapatkan sepetak tanah di desa Serang.

Rumah neneknya diwariskan ke anak pertama dan kemudian di kontrakkan ke temannya untuk dijadikan sebuah kafe dan resto.

Sementara rumah keluarga Kunta sudah lama disita pihak bank karena dijadikan jaminan usaha untuk bisnis keluarga.

Keluarga Kunta memiliki usaha peternakan yang mulai goyah sejak meninggalnya sang kakek, bisnis yang dirintis kakeknya yang kemudian diteruskan oleh anak-anaknya, namun tak berjalan maksimal.

Itulah salah satu alasan kenapa Kunta sangat disayangi neneknya, karena ia adalah cucu dari anak yang sangat disayanginya, dan rela berkorban untuk keluarga besar.

Ayah Kunta adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Hanya 2 anaknya yang tinggal di Blitar, 4 anak lainnya tinggal di luar kota.

Sejak rumah neneknya itu disewakan untuk sebuah kafe resto, Kunta tak lagi punya tempat tinggal di Blitar. Bibinya yang tinggal di Srengat sebenarnya menawari jika ke Blitar pulang saja ke sana, namun sepertinya Kunta tak berkenan.

Kunta merasa tak mendapatkan keadilan saat pembagian warisan, namun Paman yang juga anak tertua keluarga mengatakan jika pembagian warisan ini untuk generasi anak-anaknya, bukan ke cucu-cucunya.

Kunta bercerita kepadaku betapa sengit perdebatannya dengan saudara ayahnya, sekaligus menceritakan jika sebenarnya paman dan bibinya sedang kesulitan keuangan.

Satu-satunya anak yang bisa diharapkan adalah ayahnya, yang menurut tetangga paling pandai dan tampan. Bahkan sebelum meninggal sang kakek berpesan agar bisnis keluarga diteruskan anak ke-3, namun sepertinya anak pertama dan kedua tak suka dengan hal itu.

Ayah Kunta meninggal karena penyakit jantung bawaan (PJB).

"Sayang bapak tak berumur panjang," desahnya sambil menenggak soda gembira.

Aku hanya mengelus pundaknya, memberikan dukungan moril. Lelaki bernama Kunta ini telah menerima banyak luka.

Lalu, siapa Ibu Kunta?

Lanjut baca KLIK DISINI

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak