Secuil Ingatan dari Bapak


Selamat Hari Ayah

Saat itu aku mulai memahami arti "pulang". 

Para penumpang Kereta Api Penataran berhamburan keluar, ini sudah lewat jam sepuluh malam.

Jasa becak dan ojek pengkolan menyambut para penumpang yang sebagian besar mahasiswa. Ini hari Jumat, kami pulang untuk menikmati libur singkat akhir pekan.

Di dekat kotak pos, bapak sudah menanti dengan jaket tebalnya. Lalu, ia mengajakku mampir di warung tenda Soto Lamongan, tak jauh dari Stasiun Blitar.

-00-

Sesampainya di stasiun kota baru Malang, bapak menghubungiku. Ia bingung angkot mana yang harus dinaiki. Akupun datang menjemutnya.

Ia membawa buntelan berisi makanan dan 2 etre telur mentah. Kami pun menuju kontrakan di sumbersari Gg. II, bapak sempat istirahat di kamarku, sebelum akhirnya kembali ke Blitar dengan Bus karena ketinggalan Kereta Api siang.

-00-

Di sekitar tahun 2000. 

Gurih aroma gorengan menusuk hidung. Sesekali, bapak mengajakku sarapan di sini, di Warung Rumini yang legendaris.

Menu untukku adalah lalapan ati dan rempela. Bapak biasa memesan pecel dan teh manis. Seingatku, bapak tak punya tradisi ngopi, sesekali saja ia ngopi ketika bertamu.

-00-

Beranjak Tsanawiyah, sambil melihat jam tangan, bapak mengajakku sarapan Soto Ayam yang menurutnya "enak banget".

Sayang, aku lupa dimana lokasi persisnya. Kalau tidak keliru sekitar perempatan Kawi. Menurutku ya biasa saja, lebih enak Soto Ayam dekat Makam Bung Karno.

Namun selera orang memang berbeda, mungkin karena ada serbuk koya dan jeruk nipis segar, atau mungkin pagi itu sedang lapar-laparnya.

-00-

Bapak melatihku bermain Bulutangkis. Ia mengajakku ke sebuah toko olahraga untuk membeli raket, memilih sendiri motifnya dan model senarnya.

Harganya mahal juga, batinku kala itu. Biasa aku membeli raket yang berat seperti besi, harganya terjangkau. Raket untuk kalangan profesional ternyata berbeda.

Bapak mulai melihat ada prospek pada anak-anaknya menjadi atlet bulutangkis.

Namun di pertengahan 2008 aku terserang miopia/rabuh jauh. Dunia berubah kala itu, termasuk perubahan sikap dan mentalku.

Dunia yang melibatkan fisik banyak kutinggalkan, lebih karena keadaan yang tak memungkinkan. Sebelum terserang miopia itu aku sempat sakit berbulan-bulan.

Kala itu aku merasa ajalku sudah dekat.

-00-

Sejak kecil aku sudah sakit-sakitan, namun namaku tak pernah diganti sebagaimana tradisi orang Jawa.

Bapak menggendongku berjalan keluar mencari angin segar, dan aku meminta dibelikan wayang 7 buah. Dulu ada banyak penjual wayang mainan.

Angka tujuh itu jadi simbol, menurut "orang pintar" di desa. Apakah sepasang suami istri yang belum genap 4 tahun menikah itu akan kehilangan anaknya?

Semua keluarga sudah berpikir ke arah sana. Namun Tuhan masih membiarkanku hidup, hingga sekarang.

-00-

Bapak sakit. Sebuah pesan dikirimnya padaku.

Aku tak tau maksudnya, karena fisiknya masih bugar, masih bermain bulutangkis setiap Jumat siang, masih lahap makan.

Namun, gula darahnya tinggi. Aku tak begitu memahami sebelum melihat perubahan fisiknya. Sosok tegap atletis itu perlahan menjadi kurus dan semakin kurus. Bapak sakit diabetes, ternyata.

Dokter sudah mewajibkannya untuk merubah total gaya hidup, namun sepertinya itu sulit ia penuhi.

Awal 2021, adalah tahun berat baginya. Berulangkali ia jatuh sakit, sampai masuk bulan Agustus, kondisinya kian parah.

Ia tak berselara makan. Nasi merah yang rencana kumasak untuk bapak sering akhirnya kumakan sendiri.

Kadang-kadang ia memintaku membelikan ini dan itu, yang kandungan gulanya tinggi. Sesekali pula ia menanyakan model rumah apa yang aku suka?

Topik perbincangan kami bisa melompat kesana kemari.

Menjelang Perpisahan

Jumat malam di tanggal 20 Agustus 2021, aku membawa bapak ke UGD RSUD Mardi Waluyo. Kondisinya sudah kian memprihatinkan.

Serangkaian urusan administrasi yang panjang harus dilalui karena musim pandemi.

Lewat pukul 00.00, bapak akhirnya dipindah ke ruangan Kemuning, setelah sebelumnya menunggu di teras UGD bersama pasien.

Dokter memanggilku dan membisikkan sesuatu: kemungkinan bapak gagal nafas sangat besar, sembari memperlihatkan foto Rontgen area paru-parunya.

Keesokan paginya, baru akan dilakukan swab PCR untuk memastikan covid atau bukan. Itu sudah prosedur dari rumah sakit.

Sepanjang malam, selama dua hari, aku terjaga di rumah sakit, menyalakan murrotal Al Quran Syeikh Sudais. Sampai pada tanggal 21 Agustus 2021, bapak tak mampu lagi bertahan.

Seluruh pasien terkonfirmasi positif Covid, kecuali bapak, termasuk setelah tes post mortem. Ini suatu keajaiban. Bapak tak perlu "transit" ke kamar jenazah dan bisa langsung dibawa pulang.

Di dalam mobil ambulan jelang pukul 3 pagi, aku duduk di samping jenazah bapak. Itu adalah hari-hari paling mencekam dan melelahkan.

Bapak dimakamkam tak jauh dari makam kakek. Aku tak lagi merasakan kantuk karena 3 hari tak tidur, namun tubuhku limbung. Bahkan saat pelayat menyebut namaku, hanya suara-suara yang kudengar namun tak begitu kuperhatikan.

Selamat hari Ayah, kapan kita makan soto bersama lagi ya?

Blitar, 12 November 2021
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak