Agama Adalah Rasa


Apa yang kita rasakan setelah shalat? Atau setelah kita membantu orang lain, atau setelah kita menunaikan kewajiban pekerjaan?

Tenang, damai, hidup terasa seimbang dan berguna.

Kadang-kadang, saya merenungi tentang shalat, terutama saat bepergian, mampir di sebuah Masjid.

Kadang merasa begitu cepatnya waktu shalat, terutama antara dhuhur ke ashar, ashar ke magrib dan apalagi magrib ke isya. Rasanya begitu "sering" kita shalat, sampai lupa merenungi kenapa kita shalat?

Kadang saat bepergian jauh, shalat itu bisa dijama' atau dijama' qashar. Kenapa kita harus merapel shalat itu?

Namun seringkali justru batin kita sendiri yang berkata: sudah tak perlu banyak bertanya, jalankan saja.

Namun dari perenungan tersebut, kadang saya merasakan betapa leganya setelah kita shalat, betapa segarnya kondisi tersebut.

Merasakan kulit yang baru terbasuh air wudhu lalu dibelai angin semilir. Rasanya begitu tenang.

Beberapa kali, ketika mampir rest area Tol, perasaan itu muncul.

Sambil melihat keramaian lalu lalang orang, yang kebetulan di rest area tersebut juga terdapat kedai kopi dan mini market.

Jadi ini ya agama itu, agama adalah rasa. Kalimat itu muncul saat berdiri di dekat jendela Masjid, melihat keindahan luar dari lantai Masjid yang bangunannya lebih tinggi dari lainnya.

Agama adalah rasa, bukan?

###
Masjid At Taubah di rest area Tol Sumo yang megah

Begitu halnya ketika kita berbuat baik, sekecil apapun, seperti mengantarkan nenek tua yang baru belanja dari pasar menuju rumahnya.

Atau menyelesaikan amanah pekerjaan yang diberikan ke kita. Menuntaskan apa yang menjadi kewajiban itu terasa begitu melegakan, plong dan tak terbawa beban.

Beda halnya ketika kita tak mengerjakannya dengan baik, dan justru menghindar. Ada perasaan tak tenang, merasa bersalah dan hidup tak seimbang.

Kita mengetahui norma-norma tersebut dari agama. Agama mengandung pelajaran dan tuntunan yang menjelaskan mana baik dan buruk.

Meskipun baik dan buruk bisa ditemukan melalui logika. Bahwa menyakiti orang itu tidak baik, bahwa meringankan beban orang itu baik, logika mampu menalar ke arah itu, namun ajaran agama memberikan justifikasi tentang baik dan buruk.

Itulah kenapa kita perlu agama, meskipun ada sebagian orang yang memilih tidak beragama dan ber-Tuhan berdasar rasio yang dikenal dengan Agnostik.

Agama membawa ajaran, kitab suci, dan dari situ muncul kitab-kitab pengiring yang ditulis ulama dan memberi khazanah hidup.

Sebagai sebuah ilmu, agama memperkaya kajian tentang relasi manusia dengan Tuhan, Alam dan Manusia.

Sebagai sebuah pegangan, agama memberi rasa, rasa damai, tenang, dan kesimbangan. Meskipun itu dalam ranah iman, dan iman adalah sesuatu yang cukup diyakini tanpa perlu banyak dipertanyakan.

Memang kadang benar juga. Tak perlu banyak bertanya, cukup dirasakan.

Apa yang kita rasakan setelah shalat misalnya, apakah biasa saja karena itu aktivitas formal harian, atau terasa lega, atau justru semakin gelisah?

Termasuk, apa yang kita rasakan ketika marah-marah? Ketika menyakiti orang lain meskipun sebatas lewat kata-kata?

Agama seperti kontrol dalam diri, suatu "cara berpikir" tersendiri, ketika kadang-kadang ego kita tak terkendali.

Memang, di tengah masyarakat religius, kadang agama seperti ritual formal. Nyaris tak ada perenungan lebih jauh, atau sebatas merasakan.

Coba andai kita mau sedikit merasakan bagaimana cara kita beragama dan memperlakukan agama.

Kamis, 19 Mei 2022
Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak