Persiapan Kehilangan

Makam bapak.


BAPAK mengabarkan jika ia sakit dan itu menjadi awal baru dari hari-hari panjang yang penuh kegelisahan.

Ia divonis diabetes, suatu penyakit yang membuatnya harus menjaga gaya hidup, dan sepertinya merubah kebiasaan itu tak akan mudah.

Kadang di ruang tengah, di meja kamar, ada gelas yang baru terisi minuman-minuman sachet, yang bungkusnya berserakan di dapur. Padahal, jumlah gulanya diambang batas, dan itu adalah pantangan terbesar.

Makin hari tubuhnya terus menyusut, padahal mulanya ia seorang atlet bulu tangkis yang kerap berlatih dan mendapat juara tingkat kecamatan.

Badan atletnya yang bugar tergerus oleh disharmoni yang terjadi di dalam tubuhnya, ketika pankreas tak cukup mampu memproduksi insulin.

Perubahan itu semakin menambah kegelisahan, sembari membayangkan dan mempersiapkan mental jika hal buruk itu akan terjadi di masa mendatang.

***

Memasuki usianya ke-86, kondisi kakek semakin tak membaik. Ia perokok super berat, peminum kopi pekat dan pahit nomor wahid. Akan tetapi tak ada riwayat penyakit serius yang pernah melandanya. Ia bahkan tak pernah sakit hingga dirawat di rumah sakit.

Di masa mudanya, ia seorang pandai besi, dari balik tubuh pendek dan posturnya yang slim, ternyata kakek terbiasa bekerja berat.

Usia 86 tahun sudah cukup sepuh untuk memberikan batas pemahaman jika sudah waktunya.

Kakek terlihat keriput dengan nafas berat, balutan daging dalam tubuhnya sudah berkurang. Tengah malam ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Kakek pergi dengan mudah dan tenang, tanpa beban dan tanpa meninggalkan tanggungan apapun pada anak-anaknya.

Ia melalui hidup lebih dari delapan dasawarsa, yang mungkin akan sulit dilalui manusia generasi sekarang ini.

Ia merasakan hidup di zaman penjajahan, kemerdekaan awal yang penuh perang, era sulit G30SPKI, sepanjang rezim orde baru dengan kondisi ekonomi yang tak menentu. Dua anaknya meninggal saat masih belia.

Baru setelah reformasi 1998, ia mengaku lebih sering makan nasi, suatu yang teramat mewah dikala ia kecil dan tumbuh dewasa.

***

Hari itu telah tiba, kondisi drop bapak membuat ia dilarikan ke rumah sakit dalam suasana yang tak mudah; covid19 varian delta sedang mengamuk, rumah sakit penuh, oksigen langka, padahal pernafasannya sangat berat.

Ia harus transit di teras rumah sakit dengan slang infus dan beragam alat medis yang berfungsi menurunkan kadar gulanya. Saturasi oksigennya naik turun.

Dokter memanggil dan memberikan info terkait hasil rontgen, banyak plek hitam di paru-parunya, kemungkinan gagal nafas sangat besar, slang oksigen full terpasang.

Kata terakhir yang ia bisikkan adalah: lapar. Ya, ia tak boleh makan karena itu bisa menaikkan kadar gulanya, sementara slang infus bergantian dengan slang lain yang entah apa namanya, hingga ia dibawa ke ruangan.

Tiap pagi nasi kotak atas nama bapak selalu datang dan tak ada yang memakannya, sebab kunjungan sangat dibatasi, apalagi setelah hasil swab keluar.

Suatu keajaiban ketika hanya saya dan bapak yang hasilnya negatif, sementara lainnya positif dan harus dipindah ke ruang isolasi.

Ruangan itu menjadi sangat sepi, namun kondisi bapak kian memburuk hingga ia tak begerak lagi.

Saya sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk ini, namun di pinggir ranjang medis beroda 4 itu, tangis saya pun pecah, sesenggukan sendiri di ruangan sepi hingga perawat mengabarkan jika akan ada swab post-mortem untuk memastikan jika hasilnya tetap negatif.

Sejak sore ponsel hitam hanya mengalunkan murrotal Syaikh Abdurrahman As-Sudais.

Bapak telah tiada dan rasanya persiapan seperti apapun tak pernah cukup. []

Blitar, 20 September 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak