Puisi, dan Luka Hati yang Tersamarkan


SAYA punya keterikatan emosi dengan puisi, khususnya sejak awal kuliah, ketika lembar demi lembar buku harian yang mulanya berbentuk prosa, berubah dalam bentuk puisi.

Aktivitas tersebut berjalan kira-kira 3 tahun, setiap hari selepas subuh saya menulis puisi. Intinya, ingin curhat tanpa langsung tertebak.

Meskipun puisi tersebut toh juga tidak untuk konsumsi publik, untuk dibaca sendiri, layaknya buku harian. Ada 3 eksemplar yang kemudian saya beri judul: Kitab Puisi Fahri 1, 2, 3.

***

Saya suka membaca puisi sejak kelas 3 SD. Saat itu hingga lulus Aliyah, nilai Bahasa Indonesia stabil di angka 8.

Puisi pun menjadi sarana melalui masa puber yang penuh warna, di atas lembar demi lembar kertas motif bunga. Meluapkan perasaan melalui kata-kata.

Menjelang dewasa, puisi punya makna lain. Bukan lagi karena terpantik asmara, namun lebih banyak soal kepahitan hidup.

Apa yang tertulis adalah refleksi dari hati yang patah, realitas pahit, atau sebatas harapan untuk kehidupan mendatang agar lebih baik.

Puisi adalah "teman merenung" setiap pagi, penyuntik semangat sebelum mengenal kafein pada secangkir kopi.

Menulis puisi menjadi semacam pengikat emosi, atau barisan doa. Sebab bagi laki-laki pada umumnya, mengeluh soal hidup adalah suatu yang aneh. 

Tak ada sesi berkeluh kesah di hadapan teman saat nongkrong di kedai kopi. Semua tertumpah lewat puisi.

Entah kenapa, puisi dalam kurun waktu 3 tahun itu isinya penuh luka, dan layaknya puisi, diksi dipilah-pilah agar enak dibaca.

Maka, seperti yang dulu saya dengar dari Prof. Bambang Sugiharto, bahwa seni (termasuk puisi di dalamnya) bukan melulu soal keindahan, namun lebih pada pemaknaan hidup.

Puisi cinta mungkin enak dibaca, sekalipun berkisah tentang cinta yang tak sempat dimiliki, ingin yang menjadi sebatas angan.

Apalagi bagi seorang yang sulit menangis atau sebatas berkeluh kesah di sosial media. Ia terlihat dingin, tegar dan kuat, namun tak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi hatinya, apa yang terjadi saat dia sendiri di tempat sunyi.

Namun setelah lewat masa 3 tahun itu, seiring kebiasaan saya minum kopi setiap pagi, menulis puisi jadi jarang lagi. Kitab puisi itupun jeda sementara, sesekali saja menulis, namun sudah teramat jarang.

Mungkin ketika sedang resah, kalut, atau bimbang, tergerak lagi untuk menulis puisi, yang orang kerap menyebutnya momentum puitik.

Di luar itu, mungkin sebatas membaca puisi-puisi pada portal online, atau lewat buku-buku puisi yang belakangan laris terjual sejak Aan Mansyur dan Joko Pinurbo masuk gelanggang sastra.

Saya hanya orang biasa yang (kadang) suka puisi, bukan penyair, penulis dan entah apalagi istilahnya. Sebatas penikmat, kalaupun menulis sebenarnya ya untuk diri sendiri, bukan untuk eksistensi, dan apalagi kompetisi. []

Blitar, 10 September 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak