Benarkah FLP Blitar Telah Mati?


ENTAH berapa kali muncul pertanyaan atau sebatas guyonan terkait FLP Blitar yang belakangan dianggap telah mati atau sekadar vakum.


Seperti hilangnya pertemuan rutin yang biasanya tersaji di akhir pekan membahas segala hal tentang kepenulisan.


Atau, siaran radio yang tak lagi mengudara, juga karya di blog flpblitar.com yang tak setiap hari ada.


Apa benar ini adalah senjakala FLP Blitar yang sempat begitu eksis antara tahun 2016-2020?


Pernah Redup


FLP Blitar muncul tahun 2008 dan menyedot perhatian banyak orang, tiket peresmiannya ludes terjual, hadirin membludak hingga luar Aula.


Lalu mulai redup di penghujung 2009 karena banyak anggota mudanya yang merantau ke luar kota, bahkan luar pulau.


Definisi redup itu antara lain tak adanya re-organisasi dari tahun 2010 hingga 2015, bisa jadi karena kondisi yang tak memungkinkan. Re-organisasi baru bisa terjadi ketika sistem organisasi berjalan.


Artinya, sebagai sebuah komunitas, FLP Blitar sudah mengalami fluktuasi sejak awal berdirinya. Maka pabila sekarang terjadi hal yang sama, mungkin bisa dimaklumi meskipun kondisinya jelas berbeda.


Jika dibandingkan akhir 2009, kondisi sekarang masih jauh lebih baik dari segi kuantitas anggota dan keorganisasian. Secara matematik harusnya tidak vakum, apalagi mati.


Komunitas Memang Rapuh


Komunitas kepenulisan di Blitar memang penuh tantangan. Dulu ada sebuah komunitas--tanpa menyebut nama--yang bahkan mendapatkan cukup pendanaan, namun sekarang juga tinggal kenangan.


Di daerah lain, komunitas plus penerbit yang dulu sangat terkenal, kini banyak yang gulung tikar.


Komunitas memang rawan vakum, karena biasanya sangat bergantung pada patron atau sosok tertentu yang bersedia mengabdikan diri untuk komunitas.


Jika sosok ini hilang, seperti kehilangan pijakan, goyah dan ambruk.


Selain itu, faktor skill pada bidang yang dikembangkan oleh komunitas tersebut juga menjadi penentu eksistensi komunitas itu sendiri.


Bayangkan jika komunitas silat namun pengelolanya bukan ahli silat, komunitas vespa tapi penggeraknya tak paham seluk beluk vespa dan bukan pengguna vespa, komunitas pecinta film korea namun pengurusnya justru lebih suka nonton film India.


Komunitas kepenulisan namun pengurusnya tak menunjukkan diri berada pada passion di bidang tersebut.


Kepercayaan dan Iklim yang Mendukung


Menghidupkan kembali FLP Blitar di awal 2016 dan seterusnya juga bukan perkara mudah.


Beberapa orang terus berkomitmen untuk bertemu seminggu sekali, hanya lingkaran kecil yang bisa dihitung jari.


Komitmen tetap harus ditunjukkan meskipun agenda komunitas hanya mendapatkan sisa-sisa waktu luang.


Sebab komitmen itulah yang memunculkan rasa percaya satu sama lain, dan itu membangun iklim positif.


Membagikan karya, saling mengomentari, membangun diskusi intens pada hal yang sama-sama dipelajari sangatlah penting.


Mereka yang berkomunitas tentu ingin mendapatkan sesuatu, tak hanya secara materiil, terlebih non materiil.


Komunitas seharusnya adalah wadah berkumpul yang menyenangkan, bertemu teman dengan minat yang sama, membangun iklim berkarya.


Jika hal itu tak lagi didapatkan, atau malah memunculkan suasana yang sebaliknya, maka sudah tak bisa diselamatkan lagi, dipaksa untuk diteruskan pun juga tak akan maksimal.


Bila harus vakum dan mati


Generasi sebelumnya sudah berusaha agar para penerus nanti bisa lebih enak ketika mengelola FLP Blitar. Tidak perlu jumpalitan memulai dari awal.


Sebagai komunitas yang sudah dikenal, punya jaringan, bahkan sering mendapatkan undangan banyak lembaga, yang itu berarti sudah mulai diperhitungkan.


Di kedai kopi, dalam beberapa kesempatan saya berbincang dengan generasi terdahulu dan kami ikut memikirkan kenapa bisa demikian?


Sebab dengan segala upaya yang dilakukan generasi sebelumnya, generasi baru tinggal "memetik" manfaatnya dan lebih santai membawa komunitas karena iklimnya sudah tertata.


Pada kesempatan yang lain saya berbincang dengan pengurus dan sebagian mereka merasa terbebani dengan perbandingan periode ini dan sebelumnya.


Perasaan terbebani itu jelas tidak sehat secara mental, karena menganggap hal yang harusnya menyenangkan justru sebagai beban.


Perspektif itu harus diubah, jika tidak pasti akan sangat memberatkan hati dan pikiran.


Berkomunitas harus bergembira, senang, dan ringan langkah dalam menjalankan program yang ada, karena dilalui dengan penuh penjiwaan.


Jika ada perasaan tertekan, atau dianggap sebagai beban yang menyita pikiran, sebaiknya memang break dahulu. 


Tak usah diteruskan. Eman-eman, berkomunitas itu tak digaji, bayarannya hanya rasa senang dan kepuasan batin, jika itu tak didapat lalu buat apa menyiksa diri sendiri?


Komunitas kepenulisan hanya sebuah wadah dan yang terpenting anggotanya tetap berkarya.


Dalam komunitas kepenulisan, keahlian menata kalimat sangat penting untuk bekal menata organisasi. Tidak sebaliknya. Itulah keunikannya.


Blitar, 25 November 2022

Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak