Mushola telah dirobohkan, Masjid akan dibangun, namun tak ada lagi keberlanjutan setelah peletakan batu pertama. Mangkrak.
Paiman gelisah karena tempat ibadah baru tak juga terbangun. Ia merindukan aktivitas di Masjid: kegiatan TPQ, pengajian, buka puasa bersama jamaah, dlsb.
Ia bertekad membangun Masjid tersebut. Didukung oleh Kepala Dusun, ia menggalang dana kesana kemari, namun perjuangan itu tak mudah. Sampai suatu saat, takdir mempertemukannya dengan H. Marmin Siswojo (Pak Sis).
Sosok dermawan tersebut meminta Paiman membuat proposal pembangunan Masjid, apa saja yang dibutuhkan?
Paiman merinci kebutuhan, dan ia berprinsip tak akan menerima dalam bentuk uang, lebih baik langsung dalam bentuk barang.
Pak Sis yang saat itu mejabat ketua PDM Kabupaten Blitar pun berpesan: nanti kalau Masjid sudah jadi, digelar Shalat Jumat cara Muhammadiyah.
Kala itu Paiman belum terlalu tahu apa itu Muhammadiyah, ia mempelajarinya dan tak ada penyangkalan.
"Pokok mengikuti Qur'an dan Sunnah ya wes bener," tegasnya.
Paiman dan Karyani (anak kandungnya) kemudian menjadi perintis Muhammadiyah di Wonotirto, tepatnya di Dusun Banyu Urip, Desa Ngadipuro.
Sebelum menjadi PCM, Muhammadiyah di Wonotirto adalah jamaah binaan PCM Sutojayan.
Dan Azan Pun Berkumandang di Pulerejo
Niat kuat untuk mendirikan Masjid di daerahnya membawa Masroni/Wagiran dan Rochim ke seorang bernama Ust. Miftah dari Trenggalek.
Sosok tersebut dikenal memiliki jaringan ke timur tengah untuk mendanai pendirian Masjid. Namun Ust. Miftah memberi syarat agar keduanya menemui Pak Sis, jika Pak Sis mendukung maka dia bersedia membantu.
Keduanya pun bertandang ke Jatinom dan restu itupun didapat. Lokasi untuk pendirian pun dicari, jaraknya tak terlalu jauh dari rumah Wagiran.
Pembangunan pun dimulai, suplai material bantuan timur tengah berdatangan, namun itu masih belum cukup.
"Sisa kekurangannya dibantu Pak Sis," jelas Rochim.
Masjid pun berdiri di Pulerejo, Bakung. Kegiatan Muhammadiyah dan 'Aisyiyah terus berkembang, jamaah dan santri TPQnya kian bertambah.
Mutini, istri Wagiran, menjadi salah satu penggerak di sana. Kegiatan rutin digelar, termasuk iuran jamaah yang nantinya digunakan untuk kegiatan sosial.
"Sekarang, kalau ada kematian, Aisyiyah bisa membantu 5 Kg daging untuk diberikan pihak yang berduka, tak memandang apakah warga Muhammadiyah atau bukan," tuturnya.
Meskipun saat awal munculnya Muhammadiyah di sana, pihak pemerintah desa tak begitu bersimpati. Setelah tahu jika kegiatan-kegiatannya bermanfaat untuk masyarakat, responnya pun berubah.
Wagiran, Rochim, Mutini, dan lainnya adalah perintis awal Muhammadiyah di Bakung. Kini telah berdiri PCM dan PCA Bakung.
"Kalau nggak berdiri Masjid ini, mungkin sampai sekarang masyarakat sekitar tak pernah mendengar azan," ujar Rochim.
Versi lengkapnya dari dua cerita di atas akan diterbitkan dalam sebuah buku oleh PDM Kabupaten Blitar.
Ditulis oleh
Ahmad Fahrizal Aziz