Awal tahun 2017 saya ditawari menggantikan posisi sekretaris Majelis Pendidikan Kader, dan malamnya saya merenung: apa semudah itu?
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba sebuah whatsapp meluncur dan saya menjadi sekretaris panitia Baitul Arqam Ramadan kerjasama MPK Kota dan Kab. Blitar.
Rasa heran itu terus membuncah sebab posisi majelis/lembaga, apalagi tingkat daerah, bukanlah posisi sembarangan, melihat hirarkis struktural Muhammadiyah dari ranting, cabang dst.
Dengan menjadi sekretaris MPK tingkat PDM, maka serupa menaiki gedung dengan eskalator khusus, padahal yang lain lewat tangga "ranting" dan "cabang".
Lalu, siapakah saya? Hanya kader ingusan yang baru selesai kuliah dari kota sebelah, tak punya latar belakang kultural Muhammadiyah.
Hanya pernah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, itu saja!
Rasa heran itu semakin menjadi-jadi ketika muncul jawaban: tidak ada yang lain, atau tidak ada kader?
Padahal Muhammadiyah di Kabupaten Blitar memiliki belasan cabang dan pulunan ranting, berdiri lebih dari enam dekade.
Jawaban tidak ada kader itu sungguh menggelisahkan, dan kami berada di Majelis yang secara khusus mengurus soal perkaderan.
***
Ketika kemudian saya tampil di forum yang mempertemukan cabang, ranting, ortom, dll, mungkin ada yang bertanya: Siapa dia? Anaknya siapa? Sekolahnya di mana? Kepentingannya apa?
Suatu pertanyaan yang wajar untuk seseorang yang mendapatkan "keistimewaan" tanpa melalui proses hirarkis struktural.
Seseorang yang tiba-tiba duduk di posisi Unsur Pembantu Pimpinan (UPP) tingkat Daerah, sementara namanya tak sempat beredar di tataran cabang dan ranting.
Seseorang yang mendapatkan "karpet merah" hanya karena aktif di Organisasi Otonom Muhammadiyah, dan itupun di daerah lain.
Tak keliru jika nantinya saya diragukan kapasitasnya, seberapa jauh pemahaman agamanya, kemuhammadiyahannya, kemampuan organisasinya?
Saya menerima kemungkinan-kemungkinan tersebut, meskipun (sejauh ini) belum ada yang sampai mempertanyakan sejauh itu.
***
Sekembalinya ke Blitar setelah tujuh tahun di Malang, saya memang mengagendakan untuk mengenal tokoh, penggerak, dan aktivis Muhammadiyah di Blitar.
Sebatas untuk mencari habitat ideologis, teman ngopi membahas perihal gagasan dan gerakan KeIslaman. Tak sampai masuk struktural.
Bahkan sempat ingin membatasi diri jika nantinya ditarik ke struktural, sebab rencana hidup selanjutnya adalah tinggal di Sleman atau Jogja, di Blitar sekadar transit sementara.
Man Proposes, God Disposes. Hingga sekarang saya masih berada di Blitar dengan serangkaian moment yang tak terprediksi sebelumnya, termasuk datangnya Pandemi.
Merasa "terjebak" dengan situasi ini, dan tak ada langkah selain harus memperbaharui tujuan, agar tak terus berada dalam utopia. Salah satunya tujuan di Organisasi Muhammadiyah.
Terlampau tinggi pretensi jika tujuan di organisasi ini adalah untuk berdakwah. Saya tak yakin jika orang seperti saya bisa memberi nilai tambah pada Muhammadiyah.
Muhammadiyah terlalu besar dan agung, dirintis oleh tokoh-tokoh super alim dan idealis, diteruskan pula oleh figur-figur dengan standart keilmuan tinggi.
Saya mencari sesuatu di Muhammadiyah, dan itu tak bisa disembunyikan, apalagi dihadapan Tuhan. Wallohu 'alimum bidzatissudur.
Muhammadiyah adalah ormas dengan sistem yang baik, mengusung konsep Islam yang relatif mudah dijangkau, setidaknya untuk orang yang tak terlalu memahami tasawuf seperti saya.
Tak ada pengkultusan berlebih, atau memberikan keistimewaan berdasar keturunan. Orang seperti saya mendapat "keistimewaan" hanya karena dianggap punya kapasitas dan rekam jejak di ortom.
Tanpa pernah aktif di ortom (IMM), mungkin saya hanya jadi pembaca buku dan artikel tentang Muhammadiyah.
Tanpa pernah aktif di Ortom, mungkin saya tak pernah mendapatkan previlese mengikuti pelatihan, pertemuan lintas daerah, menghadiri undangan dari lembaga negara, dll.
Semua itu previlese dan keuntungan sosial ikut di Muhammadiyah.
Jadi jujur saja, kita punya kepentingan di Muhammadiyah, apapun bentuknya, seberapa kadar kepentingannya.
Ada sesuatu yang kita "nikmati" selama berada di Muhammadiyah, ada social pride, punya ruang aktualisasi, teman diskusi, dlsb. Meskipun ada tantangannya juga.
Kadang kita merasa sedang berbuat sesuatu untuk Muhammadiyah, padahal sebenarnya itu bagian dari "investasi peran" yang ujung-ujungnya juga menjadi nilai tambah bagi diri kita sendiri.
Meskipun Ust. Dudung Dumaedi selalu mengingatkan bahwa tujuan kita ber-Muhammadiyah adalah untuk mendapat Ridha Allah.
Apakah orang dengan kadar iman setipis saya mampu meraih aspek transedensi dari tujuan ideal tersebut? Wallohu'alam.