Jalan protokol berdenyut di tengah Jakarta, di sepanjang trotoar yang baru direvitalisasi, langkah kaki bergema, menyusuri barisan lampu jalan yang menyala temaram saat malam.
Trotoarnya lebar, cukup untuk dua atau tiga orang berjalan berdampingan, dihiasi guiding block kuning.
Di sisi lain, jalan raya yang padat menguji keberanian pejalan kaki.
Zebra cross ada, tetapi tak selalu di tempat yang diharapkan, mengharuskan perjalan bernegosiasi dengan kendaraan yang melaju cepat.
Di seberang jalan, Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah berdiri dengan tenang, menyaksikan dinamika kota.
300 meter dari sini, ada Gedung Joang '45 atau Menteng 31. Sebuah destinasi yang menawarkan fragmen sejarah.
Dulu, gedung ini adalah Hotel Schomper, sebuah tempat yang menjadi persinggahan bagi pejabat kolonial Belanda.
Di bawah terik langit Menteng, bangunan itu menyimpan kisah tentang elite yang datang dan pergi, hingga pendudukan Jepang mengubah fungsinya menjadi markas pendidikan politik.
Adalah Sukarni Kartodiwirjo, bocah Blitar, yang memimpin asrama ini, dibantu Chaerul Saleh dan puluhan pemuda lainnya, termasuk di antaranya, DN. Aidit.
Inilah rumah bagi Pemuda Menteng 31, kelompok revolusioner yang merancang aksi-aksi heroik.
Dari sini, Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan bersama pemuda lainnya, merancang Peristiwa Rengasdengklok, memaksa Soekarno dan Hatta mempercepat proklamasi kemerdekaan.
Kini, Gedung Joang '45 berdiri sebagai museum. Ruang pameran di dalamnya adalah kotak waktu yang menyimpan diorama perjuangan, foto-foto yang diam, tetapi berbicara dengan lantang, dan artefak yang menjadi saksi bisu dari masa-masa genting itu.
Di bagian belakang, mobil dinas Soekarno dan Hatta—REP 1 dan REP 2—menjadi pusat perhatian, menyimpan bayangan perjalanan ke tempat-tempat di mana keputusan besar diambil.
Ada ruang multimedia yang menayangkan film dokumenter, menghidupkan kembali suasana revolusi.
Ada juga ruang anak-anak dengan permainan edukatif, mengajarkan sejarah melalui warna dan bentuk.
Di luar, plaza terbuka menjadi panggung bagi teater anak dan kegiatan seni.
Trotoar sempit di depannya adalah akses masuk ke gedung ini.
Trotoar baru di Jalan Menteng Raya memberi ruang bagi pejalan kaki, tetapi menyeberang jalan tetap menjadi tantangan.
Tidak ada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di rute ini, hanya zebra cross yang mengharuskan pejalan kaki berbagi ruang dengan kendaraan yang melaju.
Di sepanjang perjalanan, kita akan melewati gedung-gedung kantor, toko-toko kecil, dan fasilitas umum.
Keriuhan kota Jakarta menjadi latar belakang yang kontras dengan narasi sejarah yang terbawa di pikiran.
Stasiun Gondangdia berada tak jauh, menjadi penghubung antara arus manusia modern dengan kenangan masa lalu.
Gedung Joang '45 membawa narasi sejarah dalam setiap sudutnya.
Dari Menteng 31, semangat mereka melintasi waktu, membentuk fondasi kemerdekaan Indonesia.
Di dalam gedung, masa lalu berbicara. Suara para pemuda itu masih bergema, tidak dalam kata-kata, tetapi dalam artefak yang mereka tinggalkan, dalam setiap diorama yang menghidupkan perjuangan mereka, dan dalam ingatan kolektif bangsa.
Berdiri di depan Gedung Joang '45, berlatar belakang jalan Menteng Raya, ada perasaan bahwa waktu tidak linier di sini.
Trotoar yang lebar dan lampu jalan yang mewah menyadarkan bahwa ini adalah era modern, tetapi langkah kaki mengarahkan pikiran ke pintu masuk sebuah narasi tua.
Di dalamnya, sejarah tidak hanya diceritakan, tetapi juga dirasakan—seperti kota yang terus berdenyut, tanpa henti. []
Tabik,