Hikikomori


Ia duduk di sudut kamar yang remang, hanya ditemani bayangannya sendiri. 


Di luar sana, dunia melaju cepat, sementara ia terjebak di ruang tanpa waktu. 


Dinding-dinding itu adalah benteng sekaligus penjara. 


Di sana, ia merasa aman dari tatapan menghakimi. Tapi, di sana pula ia mati perlahan.


Kamar itu kecil dan penuh sesak, seolah mencerminkan beban yang ia rasakan setiap hari. 


Dindingnya dipenuhi poster-poster anime yang warnanya mulai pudar, menggantung sebagai pengingat masa lalu yang dulu ia nikmati. 


Tirai jendela selalu tertutup rapat, menghalangi cahaya matahari yang mungkin menyinari ruangan. 


Udara terasa pengap, seperti tidak pernah berganti, membawa aroma buku lama, makanan instan, dan piranti elektronik yang terlalu lama menyala.


Sudut ruangan didominasi oleh meja yang berantakan. Keyboard komputer dipenuhi remah-remah makanan ringan, sementara layar monitor terus menyala, memancarkan cahaya biru yang menjadi satu-satunya sumber penerangan. 


Tumpukan kaleng minuman energi dan botol plastik berserakan di lantai, bersaing tempat dengan pakaian kotor yang sudah lama tidak dicuci.


Kasur tipisnya terletak di lantai, tanpa sprei rapi, hanya dilapisi selimut kusut yang sering ia gunakan untuk menutupi tubuhnya dari dunia luar. 


Di dekat kasur, sebuah bantal tua dengan noda yang tak lagi bisa hilang menjadi satu-satunya tempat ia menyandarkan kepala.


Sebuah headset besar tergantung di kursi yang reyot, siap ia pakai kapan saja untuk melarikan diri ke dunia virtual. 


Di dekatnya, sebuah konsol game dengan kontroler yang sudah usang tergeletak di atas karpet kecil yang warnanya memudar.


Ia pernah punya mimpi, seperti semua orang. Tapi kini, mimpi-mimpi itu membusuk di bawah beban rasa takut. 


Bagaimana rasanya berbicara dengan seseorang? Ia tak lagi ingat. 


Dunia luar terasa asing, penuh suara yang terlalu bising, dan tatapan yang terlalu tajam. 


Setiap langkah ke pintu adalah pertempuran dengan dirinya sendiri—dan ia selalu kalah.


Hikikomori, kata mereka, adalah namanya. Sebuah label untuk mereka yang memilih menarik diri. 


Tapi, siapa yang memilih ini? Ia tidak. Ia hanya ingin melarikan diri dari rasa gagal, dari rasa malu yang mencekik, dari ekspektasi yang menghancurkan.


Di kamar itu, ia bisa menjadi siapa saja. Di dunia game yang dibangunnya sendiri, ia adalah seorang pahlawan. 


Tidak ada tatapan merendahkan, tidak ada tuntutan. Hanya kemenangan kecil yang membuatnya merasa hidup, meski sesaat. 


Namun, setiap layar dimatikan, ia kembali menjadi dirinya—seorang yang terjebak dalam rasa takut.


Hari-hari berlalu, tanpa jejak yang berarti. Ia tak tahu apa yang ia tunggu—keajaiban, mungkin. 


Seseorang yang bisa masuk ke ruangannya tanpa mengetuk, membawa cahaya tanpa memaksakan terang. Ia ingin ada yang mengerti, tanpa menuntutnya berubah terlalu cepat.


Kadang, dalam kesunyian malam, ia membayangkan bagaimana rasanya keluar. 


Berdiri di bawah langit luas, merasakan angin di wajahnya. Ia ingin, tapi ia takut. Dunia ini terlalu besar, dan ia terlalu kecil.


Namun, dalam ketakutan itu, ada bisikan harapan. Bisikan bahwa mungkin, suatu hari nanti, ia bisa mencoba lagi. Mungkin ia bisa membuka pintu, meski sedikit saja.


Hikikomori bukanlah pilihan, melainkan pelarian dari dunia yang terasa terlalu berat. 


Tapi, ia ingin percaya bahwa pelarian ini bukan akhir dari cerita. 


Mungkin, masih ada cahaya di ujung koridor gelap itu—hanya saja, ia butuh waktu untuk menemukannya.


Di sanalah ia, terjebak di antara keinginan untuk hidup dan ketakutan untuk mencobanya. 


Sunyi adalah teman setianya, tapi ia tahu, suatu hari nanti, ia harus meninggalkannya. []


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak