Saat nongkrong santai di Angkringan Ningsih, mataku tertumbuk pada sesuatu yang begitu sederhana namun magis: kaset pita tua.
Sampulnya telah memudar, bergurat-gurat halus oleh perjalanan waktu.
Terlihat jelas tulisan: “Panbers Vol. 10 – The Best of Panbers.” Sebuah karya yang pernah mengguncang ruang hati generasi sebelumnya.
Kaset itu memuat potret empat pria muda dari keluarga Panjaitan, duduk gagah dengan gitar di tangan.
Mereka adalah Panbers, singkatan dari Panjaitan Bersaudara—Hans, Benny, Doan, dan Asido.
Lahir di Surabaya pada tahun 1969, mereka menjadi simbol musik pop Indonesia yang tak lekang oleh waktu.
Lagu-lagu mereka yang masih didengar hingga sekarang antara lain “Gereja Tua” dan “Akhir Cinta”.
Kaset itu mungkin dulu menjadi harta berharga, sebuah barang mewah di masa kaset pita sedang berjaya.
Pada era 1970-an hingga 1980-an, harga sebuah kaset original berkisar Rp 7.500 hingga Rp 10.000—jumlah yang tak kecil di zaman itu, setara dengan upah harian beberapa orang.
Jika dihitung dengan inflasi saat ini, harga itu mendekati Rp 67.400. Namun, nilai sesungguhnya tidak terletak pada uang, melainkan pada cerita dan usaha di baliknya.
Membayangkan perjuangan mendengarkan musik pada masa itu, hatiku dipenuhi romansa.
Tidak ada kemewahan streaming seperti sekarang. Musik tidak hadir hanya dengan satu sentuhan layar.
Untuk menikmati lagu-lagu Panbers dari kaset ini, seseorang harus memiliki tape recorder, benda yang dulu hanya dimiliki segelintir orang.
Ketika pita kaset berputar, suara berdesis halus menjadi pembuka yang membangkitkan rasa penasaran.
Jika ingin mendengar lagu favorit, pita harus di-rewind menggunakan tombol atau bahkan pensil, memutar perlahan dengan tangan, seolah memutar ulang kenangan.
Terkadang, pita macet atau terjepit di kepala tape recorder, memaksa pemiliknya untuk membuka perangkat, mengurai pita dengan penuh hati-hati agar tidak robek.
Semua itu dilakukan dengan cinta yang melibatkan usaha dan kesabaran.
Di masa itu, mendengarkan musik bukanlah aktivitas pasif. Ia adalah ritual penuh makna.
Setiap putaran pita, setiap lagu, adalah perjalanan kecil yang dirasakan hingga ke relung hati.
Bayangkan seorang anak muda di malam sunyi, duduk di depan tape recorder sederhana, lampu remang-remang menemani, sementara suara Panbers mengalun lirih menyanyikan “Gereja Tua”.
Setiap nada terdengar seperti sahabat lama yang setia, mengisi ruang dengan rasa damai.
Angkringan Ningsih, dengan gaya vintagenya, menjadi lorong untuk mengenang masa di mana segalanya harus diperjuangkan—bahkan untuk sekadar menikmati sebuah lagu.
Itulah mengapa aku menyukai tempat-tempat seperti ini. []
Tabik,