Puisi Nostradamus
Publik kembali menoleh ke ramalan-ramalan kuno, dan salah satu nama yang paling sering disebut adalah Nostradamus.
Ramalan pria asal Prancis itu kembali ramai dibahas, terlebih setelah sejumlah media menyoroti potensi perang besar di Timur Tengah sebagaimana yang disebut dalam puisinya.
Beberapa media bahkan menulis tajuk seperti “Ramalan Nostradamus: Perang Dunia III Pecah di Timur Tengah”.
Siapa Nostradamus?
Michel de Nostredame, lebih dikenal dengan nama Latin Nostradamus, lahir pada 14 Desember 1503 di Saint-Rémy-de-Provence, Prancis, dan meninggal pada 2 Juli 1566.
Ia bukan hanya dikenal sebagai peramal, tetapi juga seorang dokter dan apoteker. Ia sempat belajar di Universitas Montpellier, meskipun akhirnya dikeluarkan karena pernah bekerja sebagai apoteker, profesi yang dianggap rendah saat itu dalam dunia medis.
Nostradamus juga memiliki darah Yahudi Sephardic dari garis keturunan ayah, sebelum keluarganya berpindah agama ke Katolik demi menghindari diskriminasi.
Namanya melegenda setelah menerbitkan buku Les Prophéties pada tahun 1555, yang berisi 942 kuatrain (puisi empat baris) dalam bahasa Prancis kuno.
Puisinya tidak menjelaskan ramalan secara gamblang, melainkan dalam bentuk metafora, alegori, dan simbol-simbol kabur yang menyulitkan siapa pun untuk memahami maknanya secara pasti—bahkan hingga hari ini.
Nostradamus tidak pernah menyebut istilah “Perang Dunia III” dalam puisinya. Istilah itu baru muncul setelah abad ke-20.
Namun, sejumlah kuatrain dalam Les Prophéties sering dianggap menggambarkan konflik besar yang menyerupai perang dunia.
Salah satu puisi yang paling sering dikaitkan dengan konflik besar berbunyi:
Sept mois grande guerre, gens morts de mal faire,
Rouen, Evreux ne tombera au Roi.
(Tujuh bulan Perang Besar, orang mati karena perbuatan jahat.
Rouen dan Evreux tidak akan jatuh ke tangan sang Raja.)
Puisi ini sering ditafsirkan sebagai peringatan tentang perang modern yang berlangsung cepat dan mematikan, serta melibatkan wilayah Eropa. Sementara kuatrain lain berbunyi:
L’Antichrist trois bien tost annichilé,
Vingt & sept ans sang durera sa guerre.
Les heretiques morts, captifs, exilés,
Sang corps humain eau rougie gresler terre.
Terjemahannya:
Antikristus akan segera dihancurkan tiga kali,
Dua puluh tujuh tahun perang berdarah akan berlangsung.
Kaum heretik mati, ditawan, diasingkan,
Darah dan tubuh manusia akan memerah air, es akan menghantam bumi.
Puisi ini sangat simbolis dan multitafsir. Frasa seperti “Antikristus” atau “perang berdarah selama 27 tahun” membuatnya sangat terbuka terhadap berbagai interpretasi, termasuk kemungkinan munculnya pemimpin otoriter di era modern yang memicu konflik besar antarnegara.
Berbagai penafsir mencoba menguraikan maksud Nostradamus, mulai dari penulis populer hingga tokoh skeptis.
Salah satu penafsir yang sering dikutip adalah penulis bernama Montaigne (bukan filsuf terkenal, tetapi penulis pseudoscience modern), yang dalam interpretasinya menyebut tokoh seperti Osama bin Laden dan Saddam Hussein sebagai “figura antikristus” yang memicu konflik Timur Tengah yang lebih luas.
Namun, suara skeptis juga muncul. Penulis dan pesulap asal Kanada, James Randi, menilai ramalan Nostradamus lebih sebagai permainan kata-kata yang cerdas ketimbang prediksi masa depan.
Menurutnya, puisi-puisi Nostradamus ditulis dengan sengaja kabur agar bisa selalu “cocok” dengan kejadian apa pun.
Sikap skeptis ini diperkuat oleh fakta sejarah. Misalnya, selama Perang Dunia II, Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, menggunakan tafsir ramalan Nostradamus untuk memompa semangat rakyat Jerman dan menakuti musuh.
Pamflet-pamflet ramalan disebar ke Eropa yang diduduki, memperkuat narasi bahwa kemenangan Jerman telah “ditakdirkan.”
Mengapa Ramalan Ini Terus Diangkat?
Setiap kali dunia mengalami krisis, Nostradamus kembali jadi bahan pembicaraan.
Bahasa yang multitafsir, karena tidak menyebut nama tempat atau tanggal secara eksplisit, puisi-puisi itu mudah disesuaikan dengan peristiwa apa pun.
Maka tak heran jika puisi yang sama bisa dianggap meramalkan Napoleon, Hitler, atau serangan 11 September.
Kawasan Timur Tengah sebagai titik panas dunia, terus-menerus menjadi pusat konflik sejak abad ke-20, sehingga ramalan tentang “perang besar di timur” atau “musuh dari selatan” dianggap relevan.
Sejumlah media populer secara rutin menyoroti ramalan Nostradamus menjelang pergantian tahun atau saat konflik meningkat.
Bahkan di media sosial, ramalan-ramalan ini sering diviralkan dan menjadi konsumsi publik yang gelisah akan masa depan.
Di tengah kekacauan dunia, manusia butuh “pegangan” atau jawaban, walau lewat puisi kuno yang belum tentu sahih.
Ramalan seperti milik Nostradamus memberi semacam narasi bahwa semua ini telah “ditulis,” dan kita hanya mengikuti skenario besar semesta.
Nostradamus memang bukan nabi, bukan pula ilmuwan sejati. Tapi ia adalah pencipta kata-kata yang memikat.
Ia tahu bagaimana membuat puisi yang bisa hidup ratusan tahun setelah kematiannya.
Bahkan hari ini, ketika Google dan AI telah menggantikan dukun dan juru ramal, karya Nostradamus tetap dibaca, dan ditafsirkan ulang.
Beberapa tafsir mengaitkan puisinya dengan kemunculan Hitler, kebakaran London, hingga serangan 11 September. Namun apakah itu ramalan atau sekadar kecocokan kebetulan, masih jadi perdebatan hingga hari ini.
Ramalan tentang Perang Dunia III dari Nostradamus adalah produk dari tafsir yang sangat bebas terhadap puisi-puisi kabur berusia lebih dari empat abad.
Puisinya yang samar, kawasan konflik yang selalu bergolak, serta budaya populer yang gemar menggali ketakutan kolektif, membuat setiap bait dalam Les Prophéties seakan menemukan nyawanya kembali di tengah situasi krisis.
Selama dunia masih gaduh dan manusia masih bertanya tentang masa depan, nama Nostradamus akan selalu muncul bersama puisi-puisinya.
Tabik,