Dalam dunia yang serba terhubung, setiap orang ingin memasang citra yang merepresentasikan dirinya. Meski citra tak selalu bertalian erat dengan realita, namun citra bisa menjadi bagian penting dari suasana kejiwaan yang ingin kita tampilkan ke hadapan publik.
Citra sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, ada pula yang positif. Termasuk citra yang dibentuk oleh kaum hiperbolis, yaitu kaum yang ingin terlihat sederhana atau menyederhanakan diri. Disana kita temukan kematangan jiwa seseorang.
Di sosial media beragam citra ditampilkan, sadar atau tidak sadar. Ada Profesor yang sering posting foto-foto ketika makan di warung kaki lima, atau warung tenda. Ada pula anak ingusan yang posting foto-foto makan di food courtberbiaya mahal. Keduanya juga bagian dari citra.
Bagi yang mengenal secara nyata, terlihat bagaimana keduanya ingin menunjukkan diri. Yang satu merendah, yang satu meninggi. Suasana jiwanya mungkin bisa terasa sekilas. Meski tidak benar-benar bisa kita jadikan acuan.
Pertanyaannya, kenapa publik perlu tahu?
Kenapa publik perlu tahu kalau kita hidup sederhana, kenapa pula publik perlu tahu kalau kita sedang berada di tempat yang mewah? Juga, kenapa publik perlu tahu suasana sekitar kita? entah kampus, pesantren, tempat kita liburan, dan dengan siapa kita disitu?
Kenapa pula publik perlu tahu kita punya ini dan itu?
Jawaban dari pertanyaan kenapa inilah yang akan menjadi pembeda. Apa ingin sekedar menunjukkan bahwa aku punya dan mereka tidak, aku bisa dan mereka tidak, aku lebih ini dan itu ketimbang mereka, atau sebaliknya. Ingin menunjukkan bahwa aku hanyalah ini, Kalian harus melakukan ini seperti aku melakukanya, atau inilah yang aku lakukan untuk sesuatu.
Citra yang kita bentuk bisa membuat orang lain terpukau, bisa membuat orang lain sinis dan antipati, bisa pula membuat orang lain tergerak untuk melakukan yang sama. Citra bisa memberikan dampak, atau menjadi sesuatu yang dilihat sekilas lalu dilupakan. []
Blitar, 1 Februari 2017
Tags:
Senggang