Perlukah Komunitas untuk Para Penulis?

Ghibah bersama di Cangkruan Ningsih, Kota Blitar.


Sebagian orang masih menganggap penulis adalah kaum penyendiri, perenung, mengkonstruksi dunia di dalam kepalanya sendiri.

Penulis identik dengan kaum introver, mengunci diri di kamar demi sebuah misi, atau duduk menyendiri di sudut kafe dan tak ingin terdistraksi oleh beragam percakapan.

Sementara, komunitas adalah kebalikannya. Tempat orang berkumpul (komunal), berbincang, melakukan hal bersama.

Komunitas Penulis jadi terdengar ganjil karena menyatukan dua hal yang kontradiksi dalam prakteknya.

###

Di kota-kota besar, para penulis bekumpul untuk suatu urusan diluar menulis.

Misalnya, untuk mendorong perubahan kebijakan terkait pembajakan karya, pajak buku dan royalty.

Atau, menyatukan suara untuk menegaskan independensi, kampanye membaca, hingga seruan-seruan moral bertajuk orasi kebudayaan dan sejenisnya.

Sementara, para pemula yang ingin menapaki jalan sebagai penulis, daripada berpikir untuk bergabung dengan komunitas penulis, mending mengambil kursus-kursus berbayar.

Beberapa penulis terkenal, membuka kelas menulis, dan laku, meski mahal. Karena dia sebagai penulis adalah jaminan mutunya.

Lantas, komunitas penulis atau komunitas untuk belajar menulis, dimana daya tariknya?

###
Suasana percakapan yang kritis dan reflektif.

2015, saya memikirkan apakah perlu dibuat (lagi) komunitas kepenulisan di Blitar?

Meskipun dulu, saat ikut mendirikan Forum Lingkar Pena Blitar, tujuan saya ya untuk belajar menulis.

Namun realitanya sedikit berbeda, meski ada komunitas toh kita sendiri yang harus tetap aktif belajar. Mengikuti workshop dan beragam pelatihan.

Bukan komunitasnya yang salah, sebab fungsi komunitas memang bukan untuk itu.

Kita tidak bisa menggantungkan harapan kita pada komunitas, apalagi komunitas yang bersifat nirlaba.

Komunitas berbeda dengan tempat kursus berbayar yang jelas waktu belajarnya, kurikulumnya dan materi yang dipelajari.

Saat ikut kursus kitapun punya keterikatan sebab ada sejumlah nominal yang kita investasikan.

Sementara komunitas tidak demikian, semuanya serba sukarela, bahkan jadwal pertemuan pun mengambil waktu luang.

Artinya, komunitas hanya mendapat bagian sisa waktu yang kita miliki. Itupun kalau ada sisa, sebab padatnya kesibukan kadang membuat 24 jam kali 7 hari masih terasa kurang.

Apakah kita akan berharap pada sisa-sisa?

Namun anehnya, saya dan beberapa teman tetap mengupayakan agar komunitas ini tetap ada di Blitar, dan ternyata masih eksis hingga sekarang.

Sebagai ruang bersama
Tempat nogkrong dengan suasana vintage dan harga terjangkau.

Pada pertemuan Ahad (3/7), sebagian pengurus mulai mengeluhkan bahwa "mengurus" komunitas kepenulisan itu ternyata tidak mudah.

Lebih tepatnya mengurus anggota komunitas yang tampak slow responses dan bahkan tak peduli dengan komunitas.

Akan tetapi, masih mau berada di dalam komunitas.

Para pengurus yang sibuk "mengurus" komunitas kadang menjadi lupa bahwa ini adalah komunitas penulis.

Komunitas yang kegiatan utamanya berkaitan dengan peningkatan keterampilan menulis.

Sementara itu, anggotanya pun beragam latar belakangnya, ada yang sudah bisa menulis dan punya karya tulis, namun ada juga yang masih akan menapaki dunia kepenulisan.

Mereka yang sudah "menjadi penulis" sebaiknya memang duduk sebagai pengurus agar bisa fokus pada pengorganisasian.

Atau, ada wadah khusus yaitu mentor yang bertugas mengisi materi kepenulisan.

Komunitas kepenulisan seperti FLP Blitar ini menjadi ruang yang mempertemukan mereka yang "mau belajar" dan "sudah bisa" menulis.

Pertemuan dalam komunitas ini akan menciptakan iklim positif, penjaga semangat dan konsistensi dalam meningkatkan kemampuan menulis.

Sehingga komunitas jadi lebih semarak dengan kegiatan kepenulisan, dan tidak hanya sebatas "tempat parkir" untuk menambah portofolio sebagai penulis karena menjadi anggota komunitas.

Beberapa komunitas kepenulisan tak bertahan lama sebab aktivitas menulis itu sendiri sudah melelahkan, apalagi mengurus komunitasnya?

Pertemuan dengan para penulis di kedai kopi, perpustakaan dan taman-taman kota biasanya jadi momentum refreshing.

Betapapun penat dan lelahnya dalam aktivitas menulis atau mengelola komunitas menulis, tetap ada semangat karena rasa cinta/hobi pada menulis itu sendiri.

Saya pun menyarankan untuk tak terlalu serius memikirkan tentang anggota komunitas yang kian hari kian banyak, namun agenda pertemuan justru berangsur sepi.

Komunitas itu hanya wadah bersenang-senang, bertemu di akhir pekan juga bagian dari piknik, yang bisa silahkan datang yang tidak bisa biarkan saja.

Mengurus komunitas pun anggap saja latihan berorganisasi, mungkin akan ada bonusnya, sekarang atau nanti.

Aktivitas menulis bisa dilakukan tanpa ikut komunitas, namun lewat komunitas kegiatan menulis jadi lebih semarak.

Mungkin komunitas penulis tetap ada untungnya. []

Cangkrukan Ningsih
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak